Membusuk Di Dalam Surga
Tuesday 14 May 2019
Add Comment
Karya: @Ratu Eka Bkj
Founder PenulisanEkaBkj.com
Founder EKABKJ.com
1
Ilalang Melalang
Berayun-ayun bersama mendung nan mulai berembun. Mencoba menggambarkan
tarian pena yang terlukis dalam secarik kertas hidupku. Mengitari syair-syair
cerita dengan teduhan mata yang menyapa hari-hari. Membicarakan tentang siapa
aku, siapa aku, aku siapa ?
Aku, seorang
perempuan ilalang.
Tumbuh melalang. Terkapar ke seberang lautan. Namaku Nia, lahir dari
keluarga Thionghoa di Bagan Siapiapi. Namun, aku diasuh oleh orang tua angkatku di Jawa.
Merekalah yang membesarkanku.
***
“Nak,
sore ini masih saja terasa panas.” Keluh Ibu
“Iya
Bu, setiap hari Nia merasakan panas. Apalagi di depan rumah seperti ini Bu,
hiiiiiiiii !”
“Beginilah
Bagansiapi-api Nduk, namanya juga dekat pantai. Berbeda saat nanti
kita kembali ke Jawa, khususnya Tulunggung.”
“Di sana
dingin ya Bu ?”
“Terkadang dingin,
terkadang panas Nduk.”
“Di sini kan iklim
tropis basah, makanya panas Bearby,” sahut Sahabat laki-lakiku, Pokemon.
“Kalau aku
hitung-hitung mungkin hanya sekitar 160 hari hujan pertahun. Benar gak ya ?”
“Kalian masih SD kelas
6 sudah pada pandai. Ayah salut ! Gak rugi juga sering ikut Ayah ke pantai……”
Sahut Ayah sambil tersenyum tanda candanya.
“Iya dong Yah. Itu lo
Yah, mau bergaya seperti Ilmuwan yang suka meneliti. Oh ya Yah kenapa Nia
sering lihat teman kerja Ayah dari Jawa, kok banyak? Terutama para
Nelayan Yah. Lalu, kenapa kita juga tinggal di sini? Bukannya kita berasal
dari Jawa yang sering Ayah dan Ibu ceritakan?”
“Hebat-hebat anak Ibu.
Tetapi peneliti kok mancing di laut ya, hehe ?” Canda Ibu sambil meringis
cantik.
“Di sini memiliki
banyak sumber daya alam Nduk. Baik kekayaan yang terkandung di
perut bumi, berupa minyak bumi, gas, emas, maupun hasil hutan dan perkebunan.
Terutama perikanan. Makanya kita maupun orang Jawa banyak merantau di
sini Nduk.” Jelas Ayah dengan mantap.
“Kan penelitinya baik
hati Ibu, hehehe…” Jawabku sambil meringis.
***
Papaku
seorang pengepul ikan di pelelangan ikan terbesar se-Indonesia, Bagan
Siapiapi. Papa dikenal sebagai Bos dengan kemewahan harta dan
derajat pangkatnya. Sebagai seorang Bos, tidak cukup dengan satu istri. Papa bahkan memiliki
dua istri. Mereka hidup bersama dalam istana kerajaan cinta yang penuh bintang,
yaitu sebuah keluarga besar bahagia.
Seiring
berjalannya waktu, istana seakan menjelma menjadi sebuah surga yang lebih
indah. Kehadiran cahaya suci merasuk kedalam salah satu perut
istrinya, membuat senyumanpun selalu mengalir. Menggenang. Seakan tak
ingin berlama-lama menunggu buah hatinya hadir melihat dunia. Bermimpi tuk
segera menimang, memeluk dan bersama setiap saat.
Tetapi, suatu
keadaan tak pernah terbayang menghancurkan impian. Istana seakan penuh
dengan air mata. Kebahagiaan seakan tak nyata, bagaikan angin sekedar lewat di depan
mata Mama dan Papa. Ketika Mama sedang mengandung delapan
setengah bulan, beliau terjatuh pingsan. Ambulan mengiring langkah keluarga.
Pendarahan mengikis jiwa-jiwa bernyawa.
Seorang
perempuan dewasa berpakaian putih berprofesi, berambut panjang memeriksa.
Biasanya disebut Dokter. Datang dengan laju sedikit terbata, wajah memucat
bagai air kapur. Menemui Papa dan seluruh keluarga. Menjelaskan
semua tentang kondisi wanita kain sutra.
Kehadiran
penyakit kanker rahim menggerogoti tubuhnya ketika mengandung diriku. Mama
harus di operasi. Konsenkuensinya salah satu nyawa dapat terenggut. Janin
menempel lekat di dalam perut, dan tak dapat terlepas. Pendarahan menambah
kondisi Mama lemah. Teknologi untuk melakukan operasi pun saat itu masih
sederhana. Pemisahan janin dari kelengketan di perut merupakan hal sulit, harus
dilakukan pihak rumah sakit. Kecuali, ada mukjizat datang dan terdapat metode
baru melepaskan lengketnya janin tanpa harus mengorbankan salah satu nyawa.
Dokter memberi pilihan, nyawa siapakah yang harus dikorbankan?
Badai
beterbangan di muka, menampar wajah sekeluarga. Abu berkeliaran menciptakan
udara pengap dalam nafas. Jantung bagaikan berguguran tak karuan.
Semua mata menyempit. Tiada sepatah kata mampu terkuak. Tiada pun ingin
memilih. Semua adalah harapan.
“Dok, apakah tidak
bisa mengusahakan alat dan metode sebaik mungkin untuk menyelamatkan Istri dan
Anak saya? Kami tak dapat untuk harus memilih salah satu. Anda tau kan Dok !
Kami menyayangi keduanya. Dok tolong dengan sangat usahakan, kami akan membayar
berapa pun Dokter minta.” Pinta Papa dengan wajah lemas, sambil menarik-narik
baju Dokter. Cemas.
“Kami akan berusaha
sebaik mungkin Pak. Namun kami tidak dapat berjanji. Walau rumah sakit kita
terbaik di Negeri ini. Namun, pada saat ini belum ada penemuan maupun ilmu
kedokteran yang mampu secara tepat melepaskan kelengketan rahim tanpa
mengorbankan salah satu nyawa. Beberapa kasus sering terjadi, pihak rumah sakit
sudah berbuat sebaik mungkin. Namun lagi-lagi mengorbankan salah satu nyawa.
Tolong Bapak bantu berdoa sebanyak-banyaknya….?!?”
“Iya Dok kami
sekeluarga akan berdoa demi keselamatan kedua nyawa. Kami percaya pada Dokter
dan yakin pada kekuatan Tuhan. Mohon jangan pinta kami memilih salah satu nyawa
Dok….! Biarlah semua berjalan dulu, Dokter usahakan sebaik mungkin…! Kami akan
berusaha bersama dan berdoa,” sahut Paman bijak.
“Jika memang seperti
itu kami akan berusaha.”
Keluarga
terus berdoa bersama meminta keselamatan Mama dan aku pada Tuhan. Semilir air
dingin dari mulut terus terucap. Keagungan Tuhan terus terkumandangkan. Tak
henti-henti puja-puji memutar tanpa henti.
Selesainya
berdoa, menunggu saat menegangkan. Mencengangkan. Sambil penantian yang sangat
menakutkan, tiba-tiba Nenek mengutarakan petuahnya.
“Tuhan pasti akan
menolong kita, kita harus yakin. Tuhan Maha Kasih. Pasti memberikan pilihan
terbaik. Anak-anakku, selain agama kita juga harus masih ingat bahwa ada
kepercayaan kaum Tionghoa yang sudah turut-temurut menjadi keyakinan, tak bisa
di pungkiri. Jika Tuhan nanti berbesar hati menyelamatkan mereka. Selain harus
bersyukur sebanyak-banyaknya, kita harus merelakan kedua nyawa itu dipisahkan
demi keselamatan keduanya, supaya penyakit itu tak kembali.”
“Maksud Ibu
apa….!!!???? Kita tidak mungkin melakukan hal senista itu. Mereka adalah orang
yang kita sayangi, dinanti kehadirannya, harapan. Mana mungkin kita membuang
salah satunya begitu saja Bu ?” Sahut Papa terkaget-kaget. Nadanya agak tinggi.
“Ini bukan maksud
membuang. Tetapi kepercayaan sudah mendarah daging, kepercayaan tak beda dengan
agama. Kita tidak mungkin membiarkan keduanya kembali celaka.”
“Mereka akan baik-baik
saja jika kita menjaganya dan meminta perlindungan Tuhan. Kepercayaan beda
dengan agama Ibu,” lontar Papa membantah, meluruskan, menegaskan.
“Benar Ibu, kita tidak
bisa mengambil keputusan yang tanpa pertimbangan dan akal sehat. Kita tidak
cukup dengan kepercayaan adat Ibu. Kita harus mempertimbangkan baik buruknya,”
sahut Istri Papa yang satunya menguatkan.
“Kamu jika dinasehati
orang tua jangan ngeyel Nak….! Ini demi kebaikan semua. Nenek lebih tahu dan
mengalami kehidupan panjang.”
“Sudahlah jangan
berdebat…! Terpenting sekarang keselamatan mereka. Untuk itu kita bahas nanti,”
sahut Paman menengahi.
Beberapa jam
kemudian Dokter datang dengan wajah berseri.
“Selamat ….! Ini semua
atas rahmat Tuhan. Kedua nyawa itu diberi keselamatan. Ini benar-benar
mukjizat….!!!”
“Apa…!?! Benarkah..?
Puji Tuhan… Terimakasih banyak Dok,” kata itu begitu saja mengalir derasnya,
bangga, syukur.
Kebahagiaan
hadir kembali menyelimuti. Setelah beberapa hari dirawat. Sekeluarga pulang.
Merayakan kesejukan yang tiada tara. Bercumbu mesra dengan senyuman menawan
tanpa kiasan. Kiasan pun tak mampu mengutarakan perasaan.
Beberapa
hari sudah terlewati di rumah, semua harus berubah. Mengecewakan. Masalah
kepercayaan Tionghoa itu diperdebatkan lagi, kebetulan saat sakit Mama kambuh.
Hal itu
membuatnya terpaksa memilih mempertahankan kepercayaan demi keselamatan kami,
meski dengan berat hati mereka mengikhlaskan. Aku dititipkan kepada Bapak
Suparlan dan Ibu Tensin seorang keluarga Jawa yang merantau di
Bagansiapiapi. Kebetulan mereka tidak dikaruniai seorang anak.Mereka menjadi orang tua
angkatku, merawat sejak kecil hingga dewasa.
Kisah hidup
inilah yang menggambarkan aku lahir sebagai Unwanted Cild. Terkadang aku
bertanya kepada Tuhan.
“Mengapa Tuhan ini harus terjadi dalam hidupku?”
Sungguh meratapi nasib. Terkadang ku
menyalahkan keadaan. Terkadang
ku menyalahkan adat kepercayaan Tionghoa. Terkadang aku menyalahkan Nenek
sekeluarga. Terkadang ku kecewa pada orang tua kandungku, terkadang aku
rindu, ingindapat menemui. Tak tau keberadaannya. Meski sebenarnya orang tua angkatku sangat baik dan menyayangi aku seperti
anak kandung mereka sendiri.
Aku berfikir,
adat kepercayaan primitif bukan saja menghambat kemajuan. Bercampur aduk dengan
agama, seperti nasi uduk. Bercampur aduk dengan agama, seperti es campur. Ya,
menjadi kurang sempurnanya agama. Menjadikan orang rela berbuat hal kejam,
nekat yang sebenarnya tak diinginkan. Seperti kisah hidupku. Mengenaskan.
Terkadang saya
teringat pendapat tokoh sosiolog bernama W.I. Thomas mengungkapkan tentang
definisi suatu situasi.
“Kita hanya dapat
bertindak tepat bila kita telah menetapkan sifat situasinya. Bila seorang
laki-laki mendekat dan mengulurkan tangan kanannya, kita mengartikannya sebagai
salam persahabatan, bila mendekat dengan tangan mengepal situasinya akan
berlainan. Kegagalan merumuskan situasi perilaku secara benar dan bereaksi
dengan tepat, dapat menimbulkan akibat-akibat yang kurang menyenangkan.”
Melihat
pendapat tersebut, menatap. Merenungi. Mencoba menganalisis. Kisah keluarga
melepaskan saya ketika penyakit Mama kambuh, mereka mengaitkan dengan
kepercayaan Tionghoa. Ini fenomena kekurang tepatan memaknai situasi yang ada,
sehingga timbul akibat tidak menyenangkan. Saya berfikir, situasi salah tafsir
disebabkan desakan adat kepercayaan primitif.
Sering
terbesit dalam benak keraguan tentang siapa aku sebenarnya. Kenapa aku gak
mirip dengan Ibu dan Ayah….?
Kedua orang
tua angkat ku bukan hanya menyayangi, sangat memanjakanku.
“Oh Tuhan ku pasrahkan
semuanya padamu. Mohon tolonghambamu !?!?”
Seberang lautan……
Kurasa tak cukup dengan uraian kata
Seberang lautan……..
Telah menjelma bagaikan drama
Tangan yang melempar jazad ini kedalam genggaman tanpa darah
Jiwa yang tak berdosa ………
Jiwa yang belum mengerti tentang makna……
Sengaja engkau lepas dengan sebuah siutan
Kau takut akan kepercayaan !
Mungkin………
Bila hati dapat teriak, dan engkau mendengar
Aku adalah bom yang ingin meledak
Aku ialah lautan yang seakan pasang
Tetapi………
Ketercacatan samudra raya ilustrasi
Hanya kuluapkan dengan derasnya air hujan
Kelumpuhan batinku……
Sedikit terobati karena kupasrahkan pada Tuhan
ISI NOVEL SELENGKAPNYA, DAPAT MEMBELI BUKUNYA DENGAN MENGHUBUNGI KONTAK
KAMI
DUKUNG SITUS INI YA PEMIRSA, SUPAYA KAMI SEMANGAT UPLOAD CONTENT DAN BERBAGI ILMU SERTA MANFAAT.
DONASI DAPAT MELALUI BERIKUT INI =
0177-01-042715-50-9
EKA APRILIA.... BRI...
0895367203860
EKA APRILIA, OVO
0 Response to "Membusuk Di Dalam Surga"
Post a Comment