(Bisnis Komunikasi Jaringan), "Solusi Kerjasama!"

Membusuk Di Dalam Surga




Karya: @Ratu Eka Bkj

Founder PenulisanEkaBkj.com

Founder EKABKJ.com

1

Ilalang Melalang


Berayun-ayun bersama mendung nan mulai berembun. Mencoba menggambarkan tarian pena yang terlukis dalam secarik kertas hidupku. Mengitari syair-syair cerita dengan teduhan mata yang menyapa hari-hari. Membicarakan tentang siapa aku, siapa aku, aku siapa ?


Aku, seorang perempuan ilalang. Tumbuh melalang. Terkapar ke seberang lautan. Namaku Nia, lahir dari keluarga Thionghoa di Bagan Siapiapi. Namun, aku diasuh oleh orang tua angkatku di Jawa. Merekalah yang membesarkanku.
***
“Nak, sore ini masih saja terasa panas.” Keluh Ibu
“Iya Bu, setiap hari Nia merasakan panas. Apalagi di depan rumah seperti ini Bu, hiiiiiiiii !”
“Beginilah Bagansiapi-api Nduk, namanya juga dekat pantai. Berbeda saat nanti kita kembali ke Jawa,  khususnya Tulunggung.”
“Di sana dingin  ya Bu ?”
“Terkadang dingin, terkadang panas  Nduk.”
“Di sini kan iklim tropis basah, makanya panas Bearby,” sahut Sahabat laki-lakiku, Pokemon.
“Kalau aku hitung-hitung mungkin hanya sekitar 160 hari hujan pertahun. Benar gak ya ?”
“Kalian masih SD kelas 6 sudah pada pandai. Ayah salut ! Gak rugi juga sering ikut Ayah ke pantai……” Sahut Ayah sambil tersenyum tanda candanya.
“Iya dong Yah. Itu lo Yah, mau bergaya seperti Ilmuwan yang suka meneliti. Oh ya Yah kenapa Nia sering lihat teman kerja Ayah  dari Jawa, kok banyak? Terutama para Nelayan Yah. Lalu, kenapa kita juga tinggal di sini? Bukannya kita berasal dari Jawa yang sering Ayah dan Ibu ceritakan?”
“Hebat-hebat anak Ibu. Tetapi peneliti kok mancing di laut ya, hehe ?” Canda Ibu sambil meringis cantik.
“Di sini memiliki banyak sumber daya alam Nduk. Baik kekayaan yang terkandung di perut bumi, berupa minyak bumi, gas, emas, maupun hasil hutan dan perkebunan. Terutama perikanan. Makanya kita maupun orang Jawa banyak merantau di sini Nduk.” Jelas Ayah dengan mantap.
“Kan penelitinya baik hati Ibu, hehehe…” Jawabku  sambil meringis.
***
            Papaku seorang pengepul ikan di pelelangan ikan terbesar se-Indonesia, Bagan Siapiapi. Papa dikenal sebagai Bos dengan kemewahan harta dan derajat pangkatnya. Sebagai seorang Bos, tidak cukup dengan satu istri. Papa bahkan memiliki dua istri. Mereka hidup bersama dalam istana kerajaan cinta yang penuh bintang, yaitu sebuah keluarga besar bahagia.
            Seiring berjalannya waktu, istana seakan menjelma menjadi sebuah surga yang lebih indah. Kehadiran cahaya suci merasuk kedalam salah satu perut istrinya, membuat senyumanpun selalu mengalir. Menggenang. Seakan tak ingin berlama-lama menunggu buah hatinya hadir melihat dunia. Bermimpi tuk segera menimang, memeluk dan bersama setiap saat.
Tetapi, suatu keadaan tak pernah terbayang menghancurkan impian. Istana seakan penuh dengan air mata. Kebahagiaan seakan tak nyata, bagaikan angin sekedar lewat di depan mata Mama dan Papa. Ketika Mama sedang mengandung delapan setengah bulan, beliau terjatuh pingsan. Ambulan mengiring langkah keluarga. Pendarahan mengikis jiwa-jiwa bernyawa.
Seorang perempuan dewasa berpakaian putih berprofesi, berambut panjang memeriksa. Biasanya disebut Dokter. Datang dengan laju sedikit terbata, wajah memucat bagai air kapur. Menemui Papa dan seluruh keluargaMenjelaskan semua tentang kondisi wanita kain sutra.
Kehadiran penyakit kanker rahim menggerogoti tubuhnya ketika mengandung diriku. Mama harus di operasi. Konsenkuensinya salah satu nyawa dapat terenggut. Janin menempel lekat di dalam perut, dan tak dapat terlepas. Pendarahan menambah kondisi Mama lemah. Teknologi untuk melakukan operasi pun saat itu masih sederhana. Pemisahan janin dari kelengketan di perut merupakan hal sulit, harus dilakukan pihak rumah sakit. Kecuali, ada mukjizat datang dan terdapat metode baru melepaskan lengketnya janin tanpa harus mengorbankan salah satu nyawa. Dokter memberi pilihan, nyawa siapakah yang harus dikorbankan?
Badai beterbangan di muka, menampar wajah sekeluarga. Abu berkeliaran menciptakan udara pengap dalam nafas. Jantung bagaikan berguguran tak karuan. Semua mata menyempit. Tiada sepatah kata mampu terkuak. Tiada pun ingin memilih. Semua adalah harapan.
“Dok, apakah tidak bisa mengusahakan alat dan metode sebaik mungkin untuk menyelamatkan Istri dan Anak saya? Kami tak dapat untuk harus memilih salah satu. Anda tau kan Dok ! Kami menyayangi keduanya. Dok tolong dengan sangat usahakan, kami akan membayar berapa pun Dokter minta.” Pinta Papa dengan wajah lemas, sambil menarik-narik baju Dokter. Cemas.
“Kami akan berusaha sebaik mungkin Pak. Namun kami tidak dapat berjanji. Walau rumah sakit kita terbaik di Negeri ini. Namun, pada saat ini belum ada penemuan maupun ilmu kedokteran yang mampu secara tepat melepaskan kelengketan rahim tanpa mengorbankan salah satu nyawa. Beberapa kasus sering terjadi, pihak rumah sakit sudah berbuat sebaik mungkin. Namun lagi-lagi mengorbankan salah satu nyawa. Tolong Bapak bantu berdoa sebanyak-banyaknya….?!?”
“Iya Dok kami sekeluarga akan berdoa demi keselamatan kedua nyawa. Kami percaya pada Dokter dan yakin pada kekuatan Tuhan. Mohon jangan pinta kami memilih salah satu nyawa Dok….! Biarlah semua berjalan dulu, Dokter usahakan sebaik mungkin…! Kami akan berusaha bersama dan berdoa,” sahut Paman bijak.
“Jika memang seperti itu kami akan berusaha.”
            Keluarga terus berdoa bersama meminta keselamatan Mama dan aku pada Tuhan. Semilir air dingin dari mulut terus terucap. Keagungan Tuhan terus terkumandangkan. Tak henti-henti puja-puji memutar tanpa henti.
            Selesainya berdoa, menunggu saat menegangkan. Mencengangkan. Sambil penantian yang sangat menakutkan, tiba-tiba Nenek mengutarakan petuahnya.
“Tuhan pasti akan menolong kita, kita harus yakin. Tuhan Maha Kasih. Pasti memberikan pilihan terbaik. Anak-anakku, selain agama kita juga harus masih ingat bahwa ada kepercayaan kaum Tionghoa yang sudah turut-temurut menjadi keyakinan, tak bisa di pungkiri. Jika Tuhan nanti berbesar hati menyelamatkan mereka. Selain harus bersyukur sebanyak-banyaknya, kita harus merelakan kedua nyawa itu dipisahkan demi keselamatan keduanya, supaya penyakit itu tak kembali.”
“Maksud Ibu apa….!!!???? Kita tidak mungkin melakukan hal senista itu. Mereka adalah orang yang kita sayangi, dinanti kehadirannya, harapan. Mana mungkin kita membuang salah satunya begitu saja Bu ?” Sahut Papa terkaget-kaget. Nadanya agak tinggi.
“Ini bukan maksud membuang. Tetapi kepercayaan sudah mendarah daging, kepercayaan tak beda dengan agama. Kita tidak mungkin membiarkan keduanya kembali celaka.”
“Mereka akan baik-baik saja jika kita menjaganya dan meminta perlindungan Tuhan. Kepercayaan beda dengan agama Ibu,” lontar Papa membantah, meluruskan, menegaskan.
“Benar Ibu, kita tidak bisa mengambil keputusan yang tanpa pertimbangan dan akal sehat. Kita tidak cukup dengan kepercayaan adat Ibu. Kita harus mempertimbangkan baik buruknya,” sahut Istri Papa yang satunya menguatkan.
“Kamu jika dinasehati orang tua jangan ngeyel Nak….! Ini demi kebaikan semua. Nenek lebih tahu dan mengalami kehidupan panjang.”
“Sudahlah jangan berdebat…! Terpenting sekarang keselamatan mereka. Untuk itu kita bahas nanti,” sahut Paman menengahi.
Beberapa jam kemudian Dokter datang dengan wajah berseri.
“Selamat ….! Ini semua atas rahmat Tuhan. Kedua nyawa itu diberi keselamatan. Ini benar-benar mukjizat….!!!”
“Apa…!?! Benarkah..? Puji Tuhan… Terimakasih banyak Dok,” kata itu begitu saja mengalir derasnya, bangga, syukur.
            Kebahagiaan hadir kembali menyelimuti. Setelah beberapa hari dirawat. Sekeluarga pulang. Merayakan kesejukan yang tiada tara. Bercumbu mesra dengan senyuman menawan tanpa kiasan. Kiasan pun tak mampu mengutarakan perasaan.
 Beberapa hari sudah terlewati di rumah, semua harus berubah. Mengecewakan. Masalah kepercayaan Tionghoa itu diperdebatkan lagi, kebetulan saat sakit Mama kambuh.
Hal itu membuatnya terpaksa memilih mempertahankan kepercayaan demi keselamatan kami, meski dengan berat hati mereka mengikhlaskan. Aku dititipkan kepada Bapak Suparlan dan Ibu Tensin seorang keluarga Jawa yang merantau di Bagansiapiapi. Kebetulan mereka tidak dikaruniai seorang anak.Mereka menjadi orang tua angkatku, merawat sejak kecil hingga dewasa.
Kisah hidup inilah yang menggambarkan aku lahir sebagai Unwanted Cild. Terkadang aku bertanya kepada Tuhan.
Mengapa Tuhan ini harus terjadi dalam hidupku?
 Sungguh meratapi nasib. Terkadang ku menyalahkan keadaan. Terkadang ku menyalahkan adat kepercayaan Tionghoa. Terkadang aku menyalahkan Nenek sekeluarga. Terkadang ku kecewa pada orang tua kandungkuterkadang aku rinduingindapat menemuiTak tau keberadaannya. Meski sebenarnya orang tua angkatku sangat baik dan menyayangi aku seperti anak kandung mereka sendiri.
Aku berfikir, adat kepercayaan primitif bukan saja menghambat kemajuan. Bercampur aduk dengan agama, seperti nasi uduk. Bercampur aduk dengan agama, seperti es campur. Ya, menjadi kurang sempurnanya agama. Menjadikan orang rela berbuat hal kejam, nekat yang sebenarnya tak diinginkan. Seperti kisah hidupku. Mengenaskan.
Terkadang saya teringat pendapat tokoh sosiolog bernama W.I. Thomas mengungkapkan tentang definisi suatu situasi.
“Kita hanya dapat bertindak tepat bila kita telah menetapkan sifat situasinya. Bila seorang laki-laki mendekat dan mengulurkan tangan kanannya, kita mengartikannya sebagai salam persahabatan, bila mendekat dengan tangan mengepal situasinya akan berlainan. Kegagalan merumuskan situasi perilaku secara benar dan bereaksi dengan tepat, dapat menimbulkan akibat-akibat yang kurang menyenangkan.”
 Melihat pendapat tersebut, menatap. Merenungi. Mencoba menganalisis. Kisah keluarga melepaskan saya ketika penyakit Mama kambuh, mereka mengaitkan dengan kepercayaan Tionghoa. Ini fenomena kekurang tepatan memaknai situasi yang ada, sehingga timbul akibat tidak menyenangkan. Saya berfikir, situasi salah tafsir disebabkan desakan adat kepercayaan primitif.
            Sering terbesit dalam benak keraguan tentang siapa aku sebenarnya. Kenapa aku gak mirip dengan Ibu dan Ayah….?
Kedua orang tua angkat ku bukan hanya menyayangi, sangat memanjakanku.
“Oh Tuhan ku pasrahkan semuanya padamu. Mohon tolonghambamu !?!?”

Seberang lautan……
Kurasa tak cukup dengan uraian kata
Seberang lautan……..
Telah menjelma bagaikan drama

Tangan yang melempar jazad ini kedalam genggaman tanpa darah
Jiwa yang tak berdosa ………
Jiwa yang belum mengerti tentang makna……
Sengaja engkau lepas dengan sebuah siutan
Kau takut akan kepercayaan !

Mungkin………
Bila hati dapat teriak, dan engkau mendengar
Aku adalah bom yang ingin meledak
Aku ialah lautan yang seakan pasang
Tetapi………
Ketercacatan samudra raya ilustrasi
Hanya kuluapkan dengan derasnya air hujan
Kelumpuhan batinku……
Sedikit terobati karena kupasrahkan pada Tuhan


ISI NOVEL SELENGKAPNYA, DAPAT MEMBELI BUKUNYA DENGAN MENGHUBUNGI KONTAK KAMI


DUKUNG SITUS INI YA PEMIRSA, SUPAYA KAMI SEMANGAT UPLOAD CONTENT DAN BERBAGI ILMU SERTA MANFAAT.

DONASI DAPAT MELALUI BERIKUT INI =

0177-01-042715-50-9

EKA APRILIA.... BRI...

0895367203860

EKA APRILIA, OVO


0 Response to "Membusuk Di Dalam Surga"

Post a Comment

Iklan Dalam Artikel

Iklan Adnow

Iklan Tengah Artikel 2

Adnow