BAB 7 Novel Membusuk di Dalam Surga, Keharuman Menjadi Duri
Bab 7
Keharuman Menjadi Duri
EKA BKJ - Hari-hari terus berlalu. Bagaikan menyanyi elok, bersama angin-angin cinta menebar di kejauhan. Waktu dan tempat seakan menghimpit langkah, di balik jiwa yang sangat dekat. Ikatan indah menghiasi ruang dedaunan, walau harus berterbangan kesana-sini. Semua tak menjadi pedang, penghalang.
Setelah menikah, kami menjalin hubungan jarak jauh. Aku kembali mengabdi di pondok pesantren Walisongo. Sedangkan, suami mengabdi di ponpes Asshiddiqiyah Jakarta Barat. Pertemuan hanya sekali dalam dua bulan, bahkan tiga bulan. Rasa kangen bergejolak di lubuk, bagaikan mawar mekar bergelati kesana-kemari. Setiap mata kan terpejam, parasnya seakan mengelus mimpi. Tetapi mau gimana lagi. Hanya menatap bayangan dalam cermin. Menanti kedatangan di sisi. Mendengar suara dalam jeritan kalbu. Dekat dengan jiwa, lekat. Rindu seakan menumpuk. Namun tambah asik, bila telah bertemu. Menjalin sunah Rasul, hehehe.
Hal yang sangat tak dapat terlupa dari sang suami, kata-kata cantik tersusun dalam bait. Romantis. Puisi. Ya benar, rentetan syair puisinya terus terngiang di telinga. Godaan-godaan genitnya. Perhatiannya. Sungguh sangat istimewa.
Sorot matamu, tatapanmu meruntuhkan segala debir debu malam
Hanya tersisa semerbak bulan yang menghiasi awan
Oh mekar merona bintang surga……….
Biarkan Tuhan menjadikan puing-puing warna
Biarkan menyentuh bibirmu, nafasmu
Dengan penuh sinar-sinar cahaya……..
Puisi itu terus terngiang, tak sedikit pun tertutup awan.
Terkadang saat jam kosong, suami sering menelpon. Pengobat rasa kangen. Begitu pun diriku, ingin mendengar jeritan suaranya. Menyeru di telinga, hingga dalam hati pengembara. Celotehan menggemaskan nan romantis, menjadi perbincangan paling aku tunggu. Perhatiannya tidak pernah lepas, dia gemakan pada Istri tercerdas dan tercantik ini. Hehehe,,,,,, PD banget.
Mata jauh memandang, seakan lautan melihat matahari tak tertembus. Layaknya tubuh terlunglai panas, akan sengatan mentari. Jika tanpa payung ragamu. Semua tidak mengutik hati untuk berhenti. Rasa selalu bersama, dan dekat sepantasnya lem melekat.
Beberapa bulan kemudian, senyuman terasa sangat manis dalam keluarga. Kita dikaruniai pelipur hati. Seorang anak pertama bernama Nadia, menambah deras kebahagian. Ketika kelahiran Si Cantik, suami menemani bersama belaian manja.
“Alhamdulillah Allah mengirimkan buah hati untuk kita My. Umy juga melahirkan dengan selamat….”
“Ia Aby, kita memang patut bersyukur pada Sang Pencipta, dan semoga menjadi anak sholeha.” jawabku penuh harap.
“Amin. Betul My. Tidak lupa juga, terimakasih Umy telah memberikan Aby seorang anak yang sangat cuantik seperti Ibunya, dan pastinya bakal segenius Ibunya.”
“Amin. Sama-sama By. Hemmmm Aby suka banget ngegombal, hehehe.”
Sesudah kelahiran anak pertama, kami masih kembali menjalin hubungan jarak jauh. Karena, pengabdian di pondok pesantren belum selesai. Kerinduan berkumpul bersama menggerumbu.
Bulan merona indah di ufuk raya. Menggembung nafas, berdenyut-denyut dalam lingkup naungan. Sungguh semakin sempurna pelipis senyuman. Namun, suatu ketika gula-gula nikmat itu berubah. Gula telah dikerumuni semut hitam, menggigit hati. Nyelekit. Gatal-gatal di tenggorokan ruang. Sungguh tak menyangka. Sahabat suami sejak kecil hingga di Pondok Modern Gontor ketika SMA sampai Kuliah, yang sekarang pindah di ponpes tempat aku mengabdi bernama Ali. Dia memfitnah aku, begitu kejam.
Memfitnah bahwasannya, aku berselingkuh dengan Ustadz Rowi yang kebetulan mendapat tugas bertiga dari pondok. Aku, Ustadz Rowi, dan Ustadzah Rosa harus menemani anak-anak pesantren lomba drumband, sholawat, ceramah dan qiro’at di STAINU Malang dalam rangka Maulid Nabi Muhammad selama lima hari. Aku tak bisa bilang suami. Suami tidak bisa ditelepon, SMS pun gagal. Tidak mungkin menolak perintah pondok, sudah begitu banyak berjasa.
Ali pun memfitnah, aku tidak mengurus anak dengan baik dan menelantarkan. Alasannya, aku menitipkan Nadia kepada Ibu selama lima hari. Tidak mungkin mengajak Nadia, disana harus mempersiapkan pula lomba santri-santri. Lebih jahatnya lagi, dia memfitnah aku bukan anak Ibu dan Ayah. Aku anak orang tua berandalan.
Suami marah besar. Kami bertemu di rumah Tulungagung. Suami memperlihatkan fotoku dengan Ustadz Rowi, tak sengaja mengambil aqua bersama. Fotonya terlihat seperti terpeluk, padahal tidak. Memfotonya mungkin dari samping. Bukan hanya itu, ada fotoku sedang bercakap dengan seorang Ibu dan Bapak berpenampilan nakal. Bahkan, ada foto Bapak Ibu itu berbisik denganku di sebuah rumah. Aku merasa foto itu hanya editan, rekayasa. Aku tak pernah ngobrol dengan orang di foto itu. Suami menceritakan semua tuduhan dari Ali.
“Apa yang telah kau lakukan padaku? Setega itu mengkhianati pernikahan suci kita. Membiarkan Nadia selama lima hari. Kau juga tidak bilang keluar. Lihat foto ini!” ucapnya sambil memperlihatkan foto itu.
“Sungguh demi Allah, aku tak mungkin sekejam itu menghianatimu. Aku masih mengerti tentang dosa, aku masih punya rasa takut pada Tuhan. Aku sayang Nadia dan padamu. Kenapa kau lebih mempercayai fitnah dari Ali ketimbang pada aku, Istrimu?”
“Jangan bawa-bawa nama Tuhan demi kepalsuan! Semua bukti sudah jelas. Tidak mungkin Ali hanya menfitnah. Dia sahabat baikku yang selama ini sangat aku percaya. Buktinya juga foto itu sangat jelas. Kau juga tidak izin. Nadia kau titipkan begitu saja pada Ibu.”
“Sungguh aku telah bilang padamu. Namun SMS itu selalu tidak ada jawaban. Aku telah menelepon kamu, tidak diangkat. Aku terpaksa berangkat, tak mungkin menolak perintah pondok yang selama ini berjasa kepada kita. Aku memang menitipkan Nadia, tak mungkin mengajaknya. Disana aku sangat sibuk, sehingga terpaksa harus ku titipkan pada Ibu. Aku yakin Ibu bisa menjaga Nadia dengan baik. Hanya lima hari.”
“Benarkah kau menghubungiku!?!? Tanggal berapa? Sungguh tiada sama sekali pesan masuk.”
“Benar! Tanggal 6 Januari. Kemana kau tak dapat dihubungi?”
“Tanggal itu, HP malam hari baru saja aku bawa. Salah satu teman pondok meminjam untuk menghubungi keluarganya.”
“Aku menghubungimu pagi. HP mu masih dibawa temanmu. Apakah temanmu cewek?”
“Dia laki-laki.”
“Owch. Semua sudah jelas kan?”
“Aku tetap belum percaya. Meski HP ku dibawa temanku seharusnya SMS dan telepon mu masuk. Namun tidak ada di kotak masuk. Kau lihat foto ini! (Sambil menunjukkan fotonya) Apa kau anak orang berandalan ini??!! Mereka yang menyuruhmu melakukan perselingkuhan? Pantas saja kau tak mirip Ibu dan Ayah. Hah!”
“(Sambil menangis) Sungguh kau sangat kejam suamiku. Foto fitnah itu telah kau buat corengan pada keluarga kita dan keluargaku. Kenapa kau mengatakan aku anak mereka! Aku mengenalnya saja tidak, apa lagi bercakap dengan-nya sungguh tidak.”
Tiba-tiba Ayah datang menghampiri. Tampang yang tak biasa.
“Kau bilang apa! Dasar menantu tidak punya akhlak. Kau memfitnah Istri mu sekeji itu. Bahkan tadi kau bilang apa! Dia bukan anak kami?” bentak Ayah marah.
“Yah, aku tidak bermaksud memfitnah, semua bukti sudah jelas bukan? Ayah jujur saja, Nia bukan anak Ayah dan Ibu kan?”
“Kau bilang apa!?!? Lancang sekali bilang seperti itu!”
“Ayah jangan menutupi lagi. Ayah dan Ibu tidak mirip dengan Nia, bahkan lebih sedikit mirip dengan orang tua berandalan di foto ini. Saya yakin Nia telah dipaksa selingkuh dengan orang tuanya itu.”
Ayah marah besar, hampir saja menampar wajah suami. Namun Ibu meredam amarah Ayah, sehingga hanya mengusir-nya.
“Dasar menantu kurang ajar….!!! Kau Ustadz tetapi mulutmu seperti harimau berbisa. Pergi kau……..!!!!!!! Jangan pernah kembali lagi! Jangan pernah membuat anak kami menangis!” sentak Ayah keras.
“Ayah jangan bilang seperti itu. Kita selesaikan dulu baik-baik.” ungkapku sambil sesenggukan menangis.
“Benar Yah, Nia pasti bisa membuktikan semuanya.” sahut Ibu.
“Tidak! Aku sudah tak butuh menantu yang sepertinya….”
“Baiklah, saya akan pergi dari rumah ini. Saya akan membawa Nadia!!!!!” jawab suami bergegas membawa Nadia.
Kami bertiga berusaha menahan suami membawa Nadia. Ayah mendorong suami keluar, merebut Nadia. Suami tidak bisa membawa Nadia pergi.
Kucuran ombak di lautan seakan pasang. Membanjiri alam semesta yang pernah hijau berseri. Kini, berubah menjadi padang lumpur di dalam hati. Pertikaian membuat semua seperti fenomena kerusakan alam.
Lima bulan sudah kami berpisah. Walau tanpa keputusan resmi dari pengadilan. Antara kami tidak ada yang mengajukan perceraian. Semua hanya menggantung, bagaikan buah kelapa sedang terjerat di pohon cengkeh. Aku berusaha mencari kabar suami. Tiada satu pun yang mengetahui. Ali sudah lama keluar dari pondok, semenjak kejadian lalu. Aku dan anakku Nadia tetap mengabdi di pesantren Walisongo.
Genap delapan bulan sudah. Ketika aku dan Nadia pulang di rumah selama tiga hari. Tiba-tiba suami datang. Sambil berulang-ulang mengucapkan maaf. Penampilannya lusuh, wajah kusam dan kurus. Awalnya Ayah tak mau menerima. Namun karena permohonanku untuk memberi kesempatan pada suami, akhirnya Ayah membukakan tangan.
Suami menceritakan semua. Selama enam bulan lewat, dia tinggal bersama Ali di pondok Asshiddiqiyah Jakarta Barat. Awalnya semua berjalan dengan baik, Ali menjadi sahabat dekat yang selama ini terpercaya. Suatu ketika, disana Gus Abdul kehilangan uang 10 juta. Tiada pernah mengira, uang itu ditemukan dalam tas suami. Padahal tak pernah sama sekali berniat sedikitpun mengotori tangan, dengan dosa senaif itu kepada pondok yang telah baik pada suami.
Pondok tidak mentoleransi. Suami diusir, Ali pun membela dengan ikut pergi dari pesantren. Setelah itu, mencari kontrakan dan kerjaan di Jakarta. Suami mendapat pekerjaan seadanya, di sebuah warteg. Rasa berhutang budi pada Ali, setiap gajian semua uang pun diberikan kepada Ali. Supaya, dia yang mengatur keuangan. Kebetulan Ali tak mendapat pekerjaan.
Suatu ketika warteg itu pindah. Suami pun harus keluar dari tempat kerja. Dia tidak dapat pekerjaan lagi. Tiba-tiba pagi hari, ketika bangun tidur. Dia melihat sebuah surat.
Untuk Ahmad Sahabatku
Sahabat, kau telah banyak berjasa padaku. Kau telah banyak percaya padaku. Aku sudah kau anggap sahabat yang sangat baik dan selalu ada untukmu. Oh sungguh sangat bodohnya dirimu, di balik segala yang dapat kau raih selama ini.
Kau harus meninggalkan semua yang kau miliki. Istrimu, anakmu, mertuamu, keluargamu, pondok dan karir mu hanya demi aku. Semua matamu telah terkelabui dengan parasku yang bergaya polos, dan seolah sangat setia menghiburmu. Namun, semua hanya permainan belaka.
Semua yang terjadi ini bukan dengan begitu saja teralami. Bukan kenyataan yang bicara. Namun drama yang telah sengaja aku sutradarai. Kau tahu tidak?!
Aku yang telah memfitnah Istri kamu berselingkuh. Aku yang telah memfitnah Istri kamu menelantarkan anakmu. Aku yang telah merekayasa foto dengan edit Adobe Photoshop, sehingga seakan Istrimu bercakap dan berbisik serius dengan orang tua berandalan yang aku tuduhkan dia orang tua kandungnya. Aku juga yang telah menaruh uang Gus Abdul di tasmu, sehingga kau dituduh mencuri dan ditendang dari sana hahahaha…… Aku sangat bahagia melihatnya…. Aku mengelabui dengan pura-pura ikut pergi menemanimu, supaya tidak ada yang curiga padaku. Bodohnya kau pun tak curiga. Kau malah menyerahkan semua gajimu padaku. Hingga saat kau kehilangan pekerjaanmu, kau tidak membawa uang sepeserpun. AKU PERGI MENINGGALKAN MU. SELAMAT TINGGAL SAHABATKU YANG BODOH.
Kau tahu tidak, mengapa aku melakukan semua ini padamu? Aku sangat dendam padamu. Masih ingatkah dengan masa kecil kita. TENTANG BINAR. Kau telah merebut perhatiannya dariku. Dia selalu cuekin aku. Dia selalu mencarimu. Kau pun pernah menonjok aku sampai babak belur, gara-gara aku mau mencium Binar ketika di SMP kelas 1. Sampai persahabatan kita pernah berantem. Saat kita baikan, sebenarnya aku hanya berpura-pura. Aku masih sakit hati padamu. Sampai satu hal yang sangat membuatku dendam padamu. Kelas 3 SMP Binar meninggal, karena penyakit kanker otak. Dasar bodoh! Kau tak becus merawat Binar. Dia meninggal gara-gara kau. Kenapa Binar memilih menjadikanmu sahabat dekatnya, padahal kau sangat bodoh. Merawatnya saja tak becus!!!
Sahabatku yang sangat bodoh, terimakasih kau telah membuatku puas dan dapat tertawa lega, hahahaha……!!! Setelah bertahun-tahun aku terpuruk dengan rasa dendamku padamu. Akhirnya, aku dapat membalaskan semuanya.
SELAMAT MENIKMATI KEBODOHANMU SAHABAT
Dari Sahabat yang Telah Kau Sakiti
Ali. Anwarudin
Setelah kejadian itu, suami hidup sangat mengenaskan. Dia hanya bermodalkan gitar, mengamen. Tidur pun hanya seadanya, di jalanan. Kontrakan telah mengusirnya, akibat tak sanggup membayar.
Semua telah dijelaskan. Kami sekeluarga dapat memaafkan segala kesalahan suami. Kita saling memaafkan, dan kembali memperbaiki semuanya. Namun aku harus tetap kembali ke pondok pesantren, mengabdi sebagai Ustadzah. Sedangkan suami tinggal di rumahku, bekerja sebagai buruh pabrik dan mengurus Nadia. Suami awalnya memang sungkan harus tinggal dengan orang tuaku, tetapi semua harus terjadi. Sebab tidak mungkin dia tinggal di rumah Ibunya, apa lagi tanpa aku. Dia tak mau Ibu mengetahui masalah yang pernah kita alami, selama ini beliau tak mengetahui. Selain itu, cara berpikir keluarga suamiku masih mengarah ke salaf yang dianggap tak etis seorang laki-laki mengurus anak. Sedangkan kami cenderung Islam moderat, bahwa suami-istri sebagai mitra dan kesetaraan gender, saling berbagi dan mendukung.
Sepanjang angkasa dan bumi
Terbentang jarak……
Terbentang waktu…….
Dalam salju
Ingin bernyanyi tentang apa?
Jika semua penuh ukiran rasa………….
Ingin bernada bagaimana?
Jika semua penuh syair kerinduan cinta………..
Merpati ………
Sepoi angin setiap malam menghampiri
Seakan menanyakan tentang imajinasi
Bintang……
Lihatlah dirinya sedang apa disana?
Sebuah alat komunikasi berdenging
Setiap saat menemani……..
Terdengar suara nyaring kekasih
Tetapi teleponmu tidak bisa menggantikanmu di sisi
Aku menunggu…….
Bergilirnya detik jam…..
Perut bakpao yang sedang ditunggu
Hadir sosok buah hati cantik
Sang merpati pulang di sisi
Betapa bibir tersenyum…….
Namun senyuman itu semua berubah
Semenjak engkau berbuat ulah….
Semerbak kemanisan gula
Tergelitik semut hitam menggila
Menggatalkan kerongkongan……….
Hingga terkapar bagaikan kerusakan hutan
Semua karena dramatisasi naskah
Oleh seorang …….
Namun menjelma
Kembali pada koridor jalan bening
Ketika Tuhan memaparkan…………..
Tulungagung, 30 Oktober 2016
(Merupakan isi dari terbitan karya buku solo kedua Saya novel biografi, berjudul "MEMBUSUK DI DALAM SURGA"
Owner, Founder, CEO
= 085704703039
Customer Service
DUKUNG SITUS INI YA PEMIRSA, SUPAYA KAMI SEMANGAT UPLOAD CONTENT DAN BERBAGI ILMU SERTA MANFAAT.
DONASI DAPAT MELALUI BERIKUT INI =
0481723808
EKA APRILIA.... BCA
0895367203860
EKA APRILIA, OVO
0 Response to "BAB 7 Novel Membusuk di Dalam Surga, Keharuman Menjadi Duri"
Post a Comment